berangkat agak siang dan berharap tiba di kantor tidak terlalu siang. tetapi, harapan tinggal harapan. kemacetan yang biasanya dimulai di kilometer sekian jalan tole iskandar malah maju di km minus sekian. ya, sudahlah, mau tak mau harus dinikmati, karena ini sebuah keniscayaan. parahnya lagi, saya mengenakan baju khaki. terik mentari membuat keringat menetes.
lepas dari tole iskandar. melaju di margonda. alhamdulillah. keringatpun tak lagi menetes. tapi, galian saluran membuat jalan macet. tarik nafas. untungnya tidak terlalu panjang. namun, baru berjalan beberapa meter lepas dari kemacetan terdengarlah suara mendesis. yah! ban kanan belakang kempes. turunlah para penumpang termasuk saya. ah, tinggal ganti angkutan.
itu teorinya. praktiknya, menunggu kendaraan pengganti itu agak menyebalkan. tak kurang dari sepuluh menit barulah saya mendapatkan angkutan pengganti. sambil manggut-manggut terkantuk-kantuk saya duduk di depan bersama pak sopir. asap knalpot pun berpadu dengan asap rokok sang pengemudi. kenapa tidak pindah saja? kalau ada bangku kosong di bagian belakang, sudahlah pasti saya memilih itu.
menjelang terminal pasar minggu, banyak sekali polisi lalu lintas. "jangan turun sembarangan," tegas pak sopir. "banyak polisi, jangan turun dulu, nanti di terminal," imbuhnya. tumben, penumpang menurut semua. tak ada yang menggerutu. kamipun turut di tempat yang ditentukan pengemudi. dari sini, saya harus menumpang metro mini untuk sampai di kantor. lah, tidak seperti biasanya, kok, bus kesayangan saya malah jarang lewat.
menunggu lagi. lama. hampir sajasaya kembali ke rumah naik taksi :D akhirnya setelah berpanas-panas datang juga metro mini saya. tapi, lagi-lagi tapi, pak polisi menyuruh pak sopir untuk menepikan kendaraannya. dari dalam saya melihat pak sopir berusaha 'bernegosiasi' dengan pak polantas. gagal. dan, pak sopir mendapatkan sehelai kertas berwarna merah yang ditakutkan para pengemudi. hanya ada satu pasal pelanggaran: '"tilangnya dua ratus lima puluh ribu pak."
pak sopir yang sudah mengenakan seragam metro mini dan mempunyai kpp (kartu pengenal pengemudi) – dua-duanya resmi keluaran metro mini yang harus ditebus dengan selembar seratus ribuan – seakan tak percaya mendapatkan surat tilang. lebih dari sekali ia melihat dan melihat lagi surat itu. dalam benaknya sudah terbayang harus mengangsur denda dengan bos pemilik kendaraan. lagi, sebuah keniscayaan.
akan halnya razia angkutan umum, memang sudah direncanakan dishub jauh-jauh hari. tapi, tadi pagi tak ada satupun petugas dinas lalu lintas angkutan dan jalan (dllaj) dari dishub. semua perazia adalah polantas. angkutan umum sejatinya adalah ranah dllaj sementara polantas mengurusi surat ijin mengemudi dan stnk. pelanggaran yang dilakukan pak sopir adalah tidak masuk ke terminal. urusan siapakah ini?
di tengah kegalauan pak sopir yang sudah membayangkan harus mengangsur denda lewat bos pemilik kendaraan, ada seorang penumpang yang memberikan sumbang saran. "bapak cari relasi aja pak, biar bisa bayar lebih murah," katanya. barangkali, maksudnya, bukan lewat jalur resmi. "tadi mau saya kasih 50 ribu gak mau polisinya," jawab pak sopir. "saya sih bukan nganjurin gak bener," imbuh sang penumpangbudiman?:D. tapi, semuanya begitu, sekalian aja hancur, katanya lagi. "kecuali, razianya gak hangat-hangat tahi ayam," tutup sang penumpang.
blar. gubraks.
awalnya saya berpikir, hari ini saya adalah orang yang paling menderita sedunialebay banget ya. tapi, demi melihat penderitaan pak sopir. dan, mendengar saran si penumpang, kantuk saya kembali menyerang...
lepas dari tole iskandar. melaju di margonda. alhamdulillah. keringatpun tak lagi menetes. tapi, galian saluran membuat jalan macet. tarik nafas. untungnya tidak terlalu panjang. namun, baru berjalan beberapa meter lepas dari kemacetan terdengarlah suara mendesis. yah! ban kanan belakang kempes. turunlah para penumpang termasuk saya. ah, tinggal ganti angkutan.
itu teorinya. praktiknya, menunggu kendaraan pengganti itu agak menyebalkan. tak kurang dari sepuluh menit barulah saya mendapatkan angkutan pengganti. sambil manggut-manggut terkantuk-kantuk saya duduk di depan bersama pak sopir. asap knalpot pun berpadu dengan asap rokok sang pengemudi. kenapa tidak pindah saja? kalau ada bangku kosong di bagian belakang, sudahlah pasti saya memilih itu.
menjelang terminal pasar minggu, banyak sekali polisi lalu lintas. "jangan turun sembarangan," tegas pak sopir. "banyak polisi, jangan turun dulu, nanti di terminal," imbuhnya. tumben, penumpang menurut semua. tak ada yang menggerutu. kamipun turut di tempat yang ditentukan pengemudi. dari sini, saya harus menumpang metro mini untuk sampai di kantor. lah, tidak seperti biasanya, kok, bus kesayangan saya malah jarang lewat.
menunggu lagi. lama. hampir saja
pak sopir yang sudah mengenakan seragam metro mini dan mempunyai kpp (kartu pengenal pengemudi) – dua-duanya resmi keluaran metro mini yang harus ditebus dengan selembar seratus ribuan – seakan tak percaya mendapatkan surat tilang. lebih dari sekali ia melihat dan melihat lagi surat itu. dalam benaknya sudah terbayang harus mengangsur denda dengan bos pemilik kendaraan. lagi, sebuah keniscayaan.
akan halnya razia angkutan umum, memang sudah direncanakan dishub jauh-jauh hari. tapi, tadi pagi tak ada satupun petugas dinas lalu lintas angkutan dan jalan (dllaj) dari dishub. semua perazia adalah polantas. angkutan umum sejatinya adalah ranah dllaj sementara polantas mengurusi surat ijin mengemudi dan stnk. pelanggaran yang dilakukan pak sopir adalah tidak masuk ke terminal. urusan siapakah ini?
di tengah kegalauan pak sopir yang sudah membayangkan harus mengangsur denda lewat bos pemilik kendaraan, ada seorang penumpang yang memberikan sumbang saran. "bapak cari relasi aja pak, biar bisa bayar lebih murah," katanya. barangkali, maksudnya, bukan lewat jalur resmi. "tadi mau saya kasih 50 ribu gak mau polisinya," jawab pak sopir. "saya sih bukan nganjurin gak bener," imbuh sang penumpang
blar. gubraks.
awalnya saya berpikir, hari ini saya adalah orang yang paling menderita sedunia