masih kunyit...

3:16 PM

Saya ingat, beberapa waktu sebelumnya saya ada membeli dua edisi khusus majalah Intisari tentang Obat Tradisional. Bukunya menarik, penjelasannya cukup detil dan gambarnya lengkap. Penasaran saya cari obat untuk radang amandel. Ada beberapa jenis tanaman yang berkhasiat untuk itu, salah satunya —masya Allah— selalu tersedia di dapur saya, yaitu kunyit. Kombinasi ramuannya adalah, seruas kunyit diparut, campurkan dengan air jeruk nipis dan madu, kemudian berikan sedikit-sedikit kepada anak, sesering mungkin. Tanpa buang waktu, saya coba cara tersebut, dan alhamdulillah, selang beberapa jam panas Nanda mulai turun dan tenggorokannya tidak sakit lagi.

Sejak saat itu saya tak ragu lagi akan khasiat kunyit untuk mengobati radang amandel. Dan yang lebih menggembirakan, puji syukur hanya kepada Allah, sejak kelas satu SD —ya waktu pertama kali mencoba ramuan kunyit itu— hingga kelas lima saat ini, Nanda belum pernah lagi mengkonsumsi obat antibiotik yang diresepkan dokter. Rasanya sudah cukup lah sejak usia dua bulan —pasca operasi— hingga usianya lima tahun Nanda sering dicekoki antibiotik karena radang tenggorokan dan amandel. Bahkan saya pernah ditegur petugas apotik ketika ia tahu bahwa tablet FG Troche yang sering saya beli —itu lho, yang bolong mirip permen Polo— adalah untuk mencegah radang amandel anak saya. “Ini kan sejenis antibiotik, Bu,” katanya mengingatkan.

Sebenarnya, ada apa dengan antibiotik sih? Saya tidak berpretensi menjadi seorang ‘ahli’ yang akan menghakimi antibiotik. Toh, di abad 20 kita telah menyaksikan bahwa antibiotik adalah obat ajaib yang menyelamatkan jutaan nyawa di dunia dari berbagai penyakit infeksi. Sejauh memang digunakan sesuai keperluan, antibiotik akan sangat bermanfaat. Masalahnya pada kasus radang amandel ini, penggunaan antibiotik bisa-bisa sampai ke taraf ‘ketergantungan’, jika kita hanya mengandalkan antibiotik semata. ‘Ketergantungan’ ini terjadi karena antibiotik mengebom habis organisme di usus, yang jahat maupun yang baik, sehingga setelah sembuh anak jadi kuyu dan gampang kena penyakit lagi. Dan pada hakikatnya, kunyit sendiri adalah antibiotik alami. Bahkan lebih baik lagi, karena ia mendorong terbentuknya daya tahan tubuh yang baik.

Dari berbagai artikel yang saya pelajari, juga dari pengalaman saya selama ini, saya menemukan beberapa faktor kunci untuk mengatasi masalah pada amandel. Pertama, adalah ketahanan tubuh. Saya menduga daya tahan tubuh Nanda lemah karena waktu kecil ia kurang asupan ASI (astagfirullah, seandainya saya boleh kembali lagi ke saat itu, segala cara akan saya tempuh agar ASI saya deras keluar. Saya tak akan menyerah begitu saja oleh ‘rayuan’ susu formula). Namun soal daya tahan tubuh ini sudah kami coba atasi dengan ‘doping’ vitamin. Mulai dari minyak ikan made in China ‘Tung Hai’, Becombion, Vita Sigi dari Sun Chlorella, Curcuma Plus, dan terakhir ada yang cukup bagus juga yaitu Mahkota Dewa yang diramu dengan temu mangga dan pegagan khusus untuk anak-anak. Sengaja semuanya kami berikan pada Nanda dalam tempo yang tidak terlalu lama (sekitar 1-2 bulan) dan berselang-seling, karena kami percaya konsumsi satu jenis atau satu merek vitamin secara terus-menerus dalam jangka waktu lama justru akan membawa efek yang kurang baik.

Yang juga ‘mendongkrak’ daya tahan tubuh Nanda kemudian adalah kegiatan berenang (berenang secara benar, bukan hanya main2 di air lho…) secara teratur. Sejak ia les berenang di kelas satu, amandelnya jarang sekali kumat. Setahun paling dua kali ia mengalami itu. Saya perhatikan amandel itu akan kumat jika memenuhi tiga syarat: Nanda sedang stres dan kelelahan (anak kecil bisa stres juga lo), makannya jelek (kurang asupan sayur dan buah) dan konsumsi junk-food yang berlebihan.

Faktor kedua, adalah gen. Teori tentang ini dilontarkan oleh dokter Lusi, tetangga kami. Kebetulan, saya dan Ayahnya Nanda ketika kecil juga diganggu oleh amandel yang sering meradang, dan sama-sama dioperasi amandel saat kelas 5 SD. Aduh Nak, jadi kemungkinannya kamu itu mewarisi kelemahan dari gen kami ya (Asalkan saja, untuk akhlak, kamu mewarisi yang bagus-bagus saja dari kami ya … Amiiin)

Pada tipe gen kami, ternyata jenis amandelnya memang kategori ‘hiperaktif’ Sedikit-sedikit organ tubuh yang sebenarnya sangat bermanfaat ini —karena fungsinya sebagai penjaga melawan bakteri dan kuman pada saluran pernapasan atas— memberi isyarat ‘awas, ada bahaya’ dengan jalan membengkakkan dirinya. Padahal si anak hanya sedikit panas dalam akibat kebanyakan makan coklat, misalnya. Sayangnya panas dalam pada Nanda tidak gampang-gampang diatasi dengan larutan penyegar yang banyak beredar di pasaran.

Di sisi lain, saya juga merasa ‘bersyukur’ setelah mengamati bahwa sesungguhnya lah amandel ini sudah bekerja dengan baik. Ada masalah sedikit di saluran pernafasan atas, dia sudah membengkak. Sedangkan pada anak lain, teman-temannya Nanda yang selama bertahun-tahun ini saya amati, tidak demikian halnya. Mereka bebas merdeka tanpa dibatasi seperti Nanda untuk sering-sering mengkonsumsi mie instant berbumbu lengkap, camilan yang gurih-gurih dan yummi seperti iklan di TV, atau es pinggir jalan yang es batunya sering saya lihat diseret di lantai menggunakan karung. Tapi ada satu saat kelak di mana daya tahan tubuh anak-anak itu kemudian jebol, tanpa peringatan sebelumnya oleh si amandel, dan kemudian terserang diare atau tifus.

Juga tentang si balita yang pernah saya lihat ingusnya meler dan batuk namun tetap menghabiskan es krimnya itu, saya dengar belakangan ia menderita sinusitis. Mungkin karena ‘sinyal’ tubuhnya tidak pernah direspon secara baik; walaupun pilek, walaupun malam hari atau cuaca dingin, minum esnya jalan terus. Alhasil lendir yang menumpuk di belakang rongga hidungnya mengeras dan membuat kepalanya pening di pagi hari. Naudzubillahi min dzalik.

Faktor ketiga, adalah kejelian ibu (atau siapa pun orang terdekatnya yang mencermati ritme hidup dan pola makan si anak). Kalau Nanda sudah cemberut terus dan mengeluh pegal-pegal di seluruh badannya, itu bagi saya adalah isyarat lampu kuning. Syukurlah Nanda bukan tipe anak yang suka jajan tanpa izin. Tapi belakangan di kelas lima ini es pandan, es teh atau es jeruk dan es krim, juga panganan seperti biskuit better, bengbeng, wafer coklat, astor, dan sejenisnya, ternyata jadi camilan sehari-hari Nanda di kelas karena ada snack siang yang disediakan bersama secara bergiliran.

Rupanya anak jaman sekarang memang susah menghindar dari yang seperti itu. Padahal di benak saya terpikir alangkah baiknya jika para Ibu bersepakat agar snack yang dikonsumsi anaknya adalah snack yang sehat seperti: kacang hijau, pisang goreng, ubi rebus, singkong rebus, kue talam, kue lapis, kue apem (alamak, jadul banget yak! Pastinya anak-anak serempak berteriak: oooh tidaaak…!) Ibu-ibu juga tampaknya tak mau repot. Beli saja yang pasti disukai anak-anak, begitu pikirnya. Saya pribadi rasanya sedih juga kalau Nanda harus terus ‘puasa’ sementara teman-temannya menikmati hidangan yang ada.

Sebagai ibunya, orang terdekat Nanda di rumah, saya menugaskan diri saya untuk sering-sering menanyakan apa saja yang diperolehnya sebagai snack siang di sekolah, juga menu kateringnya. Jadi saya bisa membatasi kalau dia minta lagi panganan sejenis saat di rumah atau berbelanja. Atau memberinya air hangat yang dibubuhi jeruk nipis (ini resep dari majalah Nirmala) di pagi hari. Agar riak atau dahak yang membuat tubuh meriang dapat digelontor. Tapi jeruk nipisnya sebaiknya ‘digarang’ dulu di atas api kompor agar tidak terlalu keras bagi lambung anak.

Selain itu, walaupun sudah ada kunyit yang ampuh, saya juga mesti jeli. Ramuan kunyit itu khasiatnya muncul secara berangsur dan bertahap, tidak seketika seperti pedasnya cabe rawit setelah digigit. Sementara anak tidak bisa berlama-lama dibiarkan panas hingga 40 derajat Celcius. Saat ia demam, saya juga memberikan obat penurun panas seperti Panadol (itu pilihan saya, karena tanpa alkohol) dan kompres. Karena saya pernah membaca bahwa pada DBD panas anak tidak akan turun dalam tiga hari pertama, walaupun sudah diberikan obat penurun panas. Dan setelah tiga hari, diberikan atau tidak obat penurun panas itu, panasnya akan turun sendiri, tapi ortu justru harus waspada karena ada kemungkinan renjatan (shock). Jadi bila panas Nanda turun segera setelah diberi obat tersebut, saya lega, karena berarti panasnya bukan karena DBD. Jika kemudian gejala panasnya naik lagi, itu karena penyakit yang sesungguhnya belum diobati.

Ketika Nanda demam, saya juga mengamati lidah Nanda. Kalau banyak kotoran putihnya, ada dua kemungkinan, panas dalam ataukah tifus. Kalau sudah begini, saya juga mencermati amandelnya, apakah membengkak. Juga pola buang airnya. Saat merawat Nanda, saya juga mengubah menu Nanda secara drastis. Yang sering saya lakukan adalah membuat bubur nasi dengan sup ayam atau belakangan ini dia senang sup jagung. Susunya saya stop, diganti dengan teh hangat campur jeruk nipis dan madu yang merangsang keluarnya dahak. Semuanya —makanan dan minuman itu— saya berikan sedikit-sedikit tetapi sering. Syukur jika ada air kelapa hijau yang saya campur dengan madu, agar dapat menetralisir racun-racun yang bercokol di perut.

Anehnya, saya akan lega jika ternyata pada hari kedua Nanda mengeluh lehernya sakit. Dan nun di sana, terlihat anak lidahnya ‘terjepit’ oleh gumpalan daging kemerahan di kanan dan kirinya. Tak salah lagi, amandelnya sedang berulah. Saya segera saja menyiapkan ramuan kunyit. Sedangkan jika sampai hari ketiga tak ada kemajuan yang berarti, misalnya panasnya tetap tinggi, tubuhnya makin lemah, saya akan melakukan yang seharusnya dilakukan: segera bawa ke rumah sakit! Bisa jadi ini DBD, tifus, atau penyakit lain yang lebih serius. Syukurlah, selama ini, saya tidak harus mengalami hal itu.

masih satu postingan lagi disini.

You Might Also Like

10 komentar

populer...