mudik...
2:55 PM“mudik kemana mas?”
“lebaran mudik gak pak?”
dan beragam pertanyaan sejenis selalu ditanyakan kepada saya menjelang hari raya. jawaban saya tiap tahun juga sama: “udiknya udah dijual, gak punya udik lagi.” ada yang begitu seriusnya menanggapi jawaban ini, “kok bisa sih pak.” gak usah diterusin ya, jawabannya pastinya makin mengada-ada. hehehe…
namun saya pernah juga mengalami mudik. saya ‘pulang’ ke rumah mama adopsi di kadipaten, jawa barat. kendaraan yang ditumpangi adalah carry 1.0, benar, ini mobil yang sering dijuluki tuyul dan biasa digunakan untuk angkot alias angkutan kota. isinya full, dari bangku depan sampai belakang bagasi. mulai orang tua sampai bayi yang masih menyusu sama ibunya.
berangkat sehabis subuh, tuyul merah itu merambah jalur selatan. ngeri-ngeri juga sebenarnya. karena si angkot ini punya predikat lain yaitu remnya ada dua: kaki dan dengkul. kaki jelas kan. lutut karena ia tak punya hidung (bonnet). Jadi kalau membentur sesuatu di depannya, yah, langsung kena. selain itu, pengemudinya yang adik teman saya itu, punya kebiasaan bak supir metro mini. ketika kendaraan di depannya sudah sangat dekat barulah ia menginjak rem.
kena macetkah? sekarang saja meski sudah ada tol cipularang masih macet apalagi dulu tahun sembilahpuluh satu. tapi, meminjam istilah anak-anak jaman kiwari, asyik-asyik aja tuh. tak ada gerutuan. tak ada caci-maki. kadang di perjalanan bayi kecil itu menangis karena diganggu kakaknya. rasa lelah dan sebagainya hilang tak berbekas manakala ‘angkot’ kami menapaki desa kamun di kadipaten. segar pisan euy udaranya, meski rumah itu berada di pinggir jalan raya yang seakan tak pernah mati.
kami sholat ied di belakang pabrik gula. di lapangan luas yang mirip alun-alun. inilah lebaran pertama saya. semua berbaju baru. bukan hanya anak-anak tapi juga orang dewasa.
dibandingkan dengan mereka yang baru saja mudik berlebaran, pengalaman saya boleh jadi tak ada artinya. sungguh tak terbayangkan para balita menjadi tameng bapaknya (atau siapapun pengemudi sepeda motor). terpaan angin. guyuran hujan. sengatan sinar mentari. semburan asap knalpot dan segala macamnya diterima anak-anak ini dengan ikhlas tanpa kuasa menolak. semua cara ditempuh untuk menuju ke kampung halaman, meski dengan resiko menghadap sang khalik. adakah silaturahmi seperti ini bukan hanya menjadi sia-sia belaka?
wallahualam bishawab.
5 komentar